Oleh; SULASTRI
(Pengurus Kompartemen Organisasi, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Persatuan Alumni (PA) Gerakan Mahasiswa Nasional Indomesia (GMNI) Periode 2015 s/d 2020)
Baca juga:
Jhony Aldo: Jangan Merusak Pemilu 2024
|
*Pemilihan* umum (Pemilu-red), sampai saat ini masih merupakan instrument penting dalam demokrasi. Buktinya, banyak negara demokrasi di dunia yang secara regular menggelar pemilu untuk memastikan sirkulasi kepemimpinan terus berlanjut. Estafet kepemimpinan ini, ialah unsur penting demokrasi. Beberapa pakar demokrasi juga masih memposisikan pemilu sebagai prasyarat kehidupan demokrasi.
Schumpeter, misalnya satu diantara sekian pakar itu yang bahkan mendefinisikan demokrasi sebagai situasi politik dimana para pengambil keputusan kolektif yang paling kuat dipilih melalui pemilu periodik.
Baca juga:
Tony Rosyid: Plus Minus NU Dukung Anies
|
Indonesia, sejak berakhirnya rezim Soeharto yang bercorak parlementer, memulai eksperimen pemilu dengan skema sistem demokrasi presidensial melalui amandemen UUD 1945 yang dilakukan empat tahap, dari tahun 1999 sampai 2002.
Mulai saat itu, presiden tidak lagi dipilih dan diangkat oleh MPR sebagai penjelmaan dan pemegang kedaulatan rakyat, melainkan dilakukan langsung oleh rakyat sebagai pemegang daulat.
Kedudukan dan peran MPR dalam konteks kedaulatan politik, terlikuidasi. Dengan kata lain, momentum amandemen konstitusi dasar UUD 1945 merupakan pintu masuk pemilu bercita rasa demokrasi presidensial.
Dalam amandemen konstitusi dasar itu, Hanta Yuda (2010) mencatat lima substansi perubahan yang menjadi karakteristik sistem presidensil. Lima pokok perubahan yang substansial tersebut, yakni (1) pembatasan masa jabatan presiden, sehingga massa jabatan presiden lebih tetap; (2) revitalisasi kemandirian lembaga parlemen melalui penguatan fungsi check and balances; (3) pelembagaan sistem pemilihan presiden secara langsung; (4) proses pencalonan presiden dan wakil presiden dalam satu paket; (5) presiden tidak bisa dijatuhkan karena alasan politis. Sementara, dua karakteristik lainnya yang sudah ada sebelum amandemen adalah kedudukan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dan presiden memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri.
Baca juga:
Anies-Gus Yahya, Cocok!
|
Untuk karakter sistem presidensil sendiri, bervariasi pandangan yang muncul dari para ahli. Aren Lijphart (1995) misalnya, yang menurutnya hanya tiga elemen pokok dari sistem presidensil, yakni (1) presiden atau kepala pemerintahan dipilih untuk masa jabatan yang tetap (fix term); (2) presiden dipilih secara langsung oleh rakyat atau pun melalui dewan pemilih (electoral collage) seperti di Amerika Serikat; dan (3) presiden merupakan kepala eksekutif yang bersifat tunggal.
Model pemilu semenjak amandemen konstitusi dasar – pemilu presiden yang terpisah dari pemilu DPR dan DPD – dapat dikatakan sebagai eksperimen pertama dalam ketatapemiluan Indonesia.
Hal ini juga sekaligus menunjukkan pengukuhan dan penguatan presidensialme sebagai paham yang dipilih untuk berpemerintahan dalam republik ini.
Namun perjalanan pemilu pasca Soeharto, belum sepenuhnya bercitarasa presidensial. Bahkan, justru rasa parlementer yang begitu kental tercipta.
Menghendaki sistem pemerintahan presidensil, berarti menciptakan ruang yang berbeda, tegas dan jelas untuk eksekutif dan legislatif. Desain institusi yang terbentuk pascapemilu, memperlihatkan mutasi yang tidak sempurna antara eksekutif dan legislatif.
Pemisahan yang tidak sempurna di kedua lembaga ini ditunjukkan dengan dominasi satu lembaga atas yang lainnya. Sistem presidensil yang menghendaki penyeimbangan kekuasaan, terkurung oleh nuansa parlementer begitu kuat, yang menggambarkan inkonsistensi pelembagaan skema presidensil dalam kehidupan politik.
Pengalaman pemilu nasional pasca Soeharto dalam tiga periode kepemimpinan, memperlihatkan hasil yang tidak membawa pada penguatan sistem presidensil. Desain kepemiluan tidak berjalan seiring dengan rancang-bangun sistem pemerintahan sebagaimana yang dikonstruksikan dalam amandemen konstitusi UUD 1945. Situasi ini akhirnya menggugah Effendi Gazali dkk. menggugat ketentuan di UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sehubungan dengan pelaksanaan pemilu presiden setelah pemilu legislatif.
Dalam respon semangat yang sama, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan tersebut melalui Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mana pemilu legislatif dan pemilu presiden harus dilaksanakan secara bersamaan.
Beragam respon akademik pun muncul pasca putusan MK tersebut. Namun, pada dasarnya respon itu sejalan dengan substansi putusan MK untuk menyelenggarakan pemilu secara bersamaan (istilah dalam ruang diskursusnya “pemilu serentak”) dalam maksud penguatan sistem presidensil. Secara umum, formula yang ditawarkan untuk memahami dan melaksanakan pemilu serentak, dalam beragam respon akademik terdiri atas beberapa pandangan dan pilihan.
Pertama, pemilu serentak dipahami sebagai pelaksanaan pemilu mulai dari Presiden, DPR, DPD, sampai dengan Kepala Daerah, DPRD baik itu provinsi, kabupaten, atau kota, dilaksanakan secara bersamaan dalam satu waktu. Pemahaman dalam satu waktu untuk dilakukan pemilu kepada semua jabatan politik itu, selain banyak berdampak pada setiap unsur dalam pelaksanaan pemilu (seperti keterbatasan kemampuan penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan rasionalitas pemilih serta kualitas hasil pemilu) juga agak sulit untuk merealisasikannya. Karena itu, pemilu serentak, dalam pemahaman waktu pelaksanaan, yang paling mungkin dilakukan tetap memiliki jeda, baik itu antara level kedudukan pemerintahan (pusat dan daerah), dan atau level bentuk institusi (legislatif dan eksekutif).
Kedua, pemilu serentak, dipahami sebagai sebuah desain dan skema pemilu dalam maksud penguatan sistem presidensil, diyakini dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif dan stabil. Hal ini dapat terwujud karena pemilu serentak memiliki pengaruh pada perilaku pemilih yang disebut sebagai coattail effect, yakni keterpilihan calon presiden yang dari parpol atau koalisi parpol tertentu akan mempengaruhi keterpilihan anggota legislatif dari parpol atau koalisi parpol tertentu. Dengan kata lain, pemilu serentak mengasumsikan pemilih akan memilih partai politik yang mengusung calon untuk eksekutif dan legislatif.
Perkembangan wacana pemilu dengan kemunculan putusan MK yang mengerucut pada pemilu serentak, tidak dapat dipisahkan dari pandangan bahwa pemilu merupakan instrumen penting dalam demokrasi. Menghadirkan demokrasi presidensil menuntut sebuah desain dan skema pemilu yang dapat memperkuat sistem demokrasi presidensil. Pemilu serentak, kiranya diyakini oleh berbagai kalangan dari akademis maupun praksis, sebagai sebuah model pemilu yang dapat efektif untuk memperkuat sistem presidensil.
Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud menakar sejauh mana efektivitas pemilu serentak dalam memperkuat sistem presidensil. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah pemilu serentak nasional berpengaruh pada terciptanya pemerintahan yang efektif (governability)? (***)